Wednesday, June 11, 2008

Masjid dan Makam Mbah Sabil



I. Masjid Mbah Sabil
Masjid dan Pesantren mbah Sabil terletak di desa Kuncen bagian utara, dari tugu pahlawan ke arah timur laut, atau dari Masjid Taqwa ke utara, hanya saja sampai hari ini tanpa bekas, sebab terkikis aliran Bengawan Solo (longsor).

Setelah tutup usia, mbah Sabil dimakamkan disebelah masjid. Urusan Pondok Pesantren kini menjadi tanggung jawab mbah Hasyim. Tidak lama setelah itu mbah Hasyim pun menyusul mbah Sabil menghadap sang Kholiq, dan dimakamkan disamping makam mbah Sabil. Kurang jelas kapan beliau meninggal. Masjid dan pondok sepi karena ditinggal beliau, dan lama-kelamaan kosong melompong, mengenaskan.....

Ada cerita menarik seputar masjid sepeninggal mbah Sabil. Diwaktu Dhuhur, salah satu cucu mbah Sabil yaitu mbah Kyai Abdurrohman Klothok suatu saat tilik masjid peninggalan kakeknya. Alangkah terkejutnya beliau, masjid yang semula ramai, sekarang sepi dan sangat kelihatan sekali bahwa masjid tersebut tidak pernah dipergunakan, kotor, berdebu bahkan penuh dengan kotoran ayam. Kesucian masjid pun ternoda. Rupanya penduduk Kuncen sekitar masjid sudah tidak memperdulikan keberadaan masjid yang bersejarah tersebut.

Hal ini membuat kesal mbah kyai Abdurrohman: “Wooalah ..... Wong Kuncen kene iki bento, duwe masjid kok ora dienggo” (Orang Kuncen sini gila, punya masjid tidak dimanfaatkan). Menurut penuturan para kyai sepuh, sejak kejadian itu, kawasan tersebut (yakni sebelah utara jalan raya Surabaya, yang masuk dalam wilayah Pemerintahan Desa Kuncen) selalu ada orang yang sakit ingatan/gila, atau terganggu jiwanya, meninggal satu akan timbul lagi demikian dan seterusnya.
Karena masjid tersebut dianggap mubadzir oleh mbah Kyai Abdurrohman, masjid tersebut kemudian diboyong ke Dukuh Klothok, Desa Banjarjo, masih dalam wilayah Kecamatan Padangan. Bahkan oleh sebagian masyarakat sekitar, masjid tersebut dipercaya sebagai masjid tiban. Masjid berarsitektur Jawa itu tak begitu besar. Luasnya kira-kira 20 X 20 meter. Entah sudah berapa kali masjid itu dipugar. Dari data yang diketahui, masjid tersebut dipugar pada Oktober 1989 dan 9 Agustus 1993 M.

Perlu diketahui, bedug masjid tersebut dibuat mbah Sabil dari kayu Jeblungan, kenthongannya terbuat dari kayu otok. Disebelah barat masjid terdapat komplek kuburan. Luasnya hampir dua kali area masjid. Di tempat inilah mbah Kyai Abdurrahman disemayamkan. Makamnya berada di dalam sebuah bangunan kecil di tengah makam umum. Sebagai penghormatan kepada sang wali, setiap peziarah atau pengunjung masjid diwajibkan turun dari motor bila sudah mendekati cungkup makam mbah Kyai Abdurrahman.
Pernah suatu ketika bedug Masjid Klothok tersebut diminta oleh Bupati Bojonegoro yaitu Raden Adipati Rekso Kusumo periode 1890-1916 M dan rencana pengiriman lewat Bengawan Solo ke Bojonegoro, namun apa yang terjadi ? perahu pembawa bedug itu hanya berputar-putar saja sampai berhari-hari ditempat itu juga, akhirnya diambil keputusan: bedug tidak boleh dipindahkan kemana-mana.


Gambar Makam Mbah Abdurrahman Klothok


II. Makam Mbah Sabil


Gambar makam Mbah Sabil

Makam mbah Sabil & mbah Hasyim yang saat ini berada disebelah barat Langgar Pahlawan, telah mengalami “perpindahan” 3 kali sejak beliau dimakamkan pertama kali disebelah masjidnya. Makam/kuburan ke dua tokoh Islam ini dinamakan “Sarean Menak Anggrung” sebab tempatnya yang anggrung-anggrung menjulang tinggi ditepi jurang Bengawan Solo. Barangkali berangkat dari peristiwa inilah mbah Sabil dan mbah Hasyim dikenal sebagai Mbah Menak Anggrung. Seiring dengan waktu, ternyata posisi makam membahayakan akibat dimakan jurang alias jungkur (longsor) meskipun sudah di-cungkup . Akhirnya dipindahkan beberapa meter kearah selatan. Kapan ? dan siapa yang memindahkan ? belum ditemukan data tentang itu.

Rupanya ditempat baru inipun kurang beruntung, tanah disekitar mengalami penurunan, dan habis sedikit demi sedikit sebab terkikis oleh derasnya air sungai terutama waktu musim penghujan. Dan akhirnya dipindah lagi untuk yang kedua kalinya yang dipimpin langsung mbah Kyai Ahmad Rowobayan. Namun tempat yang baru inipun rupanya juga mengalami pengikisan, dan longsor lagi.

Setelah bermusyawarah, para pemuka agama dan tokoh masyarakat, yang dipimpin oleh panjenenganipun mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan, maka diputuskan dipindah lagi untuk yang ketiga kalinya tepat di jantung desa yaitu Alun-alun Conthong - tempat yang sekarang ini ditempati sebagai makam, dulu sering disebut Alun-alun Conthong - pada Jum’at Kliwon, 13 Robiul Awal 1369 H atau 3 Maret 1950 M, dipandegani langsung oleh mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan dan mbah Kyai Muntaha dari Alas-tuwo Banjarjo.
Ada sedikit cerita seputar pemindahan terakhir ini, mbah Modin Marto Mardan yang saat itu menjadi juru kunci, bermimpi berturut-turut selama 3 hari. Dalam mimpinya mbah Marto diminta mbah Sabil untuk memindahkan makam beliau. Dan prosesi pemindahan itu berlangsung seperti tersebut diatas.

Belakangan di Alun-alun Conthong, tepatnya sebelah timur makam, didirikan sebuah langgar pada tahun 1952 M, Langgar tersebut dinamakan langgar Pahlawan , sebab sebagian dari halaman depan langgar ada beberapa makam pejuang kusuma bangsa yang kira-kira antara tahun 1960 - 1962 M makam tersebut dipindah dan dijadikan satu di Taman Makam Pahlawan Bojonegoro. Untuk memperingati para pahlawan tersebut, pada tahun tersebut Pemerintah RI mendirikan sebuah tugu yang saat ini disebut Tugu Pahlawan. Kemudian tugu tersebut dipugar pada tahun 1959 dan 1981 M bersamaan dengan lewatnya api PON (Pekan Olah Raga Nasional) ke X di daerah Padangan. Sedangkan pada tahun 2007 Langgar Pahlawan diganti namanya menjadi Langgar Menak Anggrung karena komplek makam dan langgar menjadi satu.


Gambar Langgar Menak Anggrung

Kembali ke pemindahan sarean mbah Sabil yang ke 3 kalinya, waktu pembongkaran cungkup, warga tidak ada yang berani membongkar sirap walaupun telah diperintah oleh mbah Kyai Abdurrahman. Hal ini karena ada seekor ular besar melilit disalah satu blandar cungkup. Lalu mbah Kyai Abdurrahman & mbah Kyai Muntaha mendatangi cungkup untuk melihat dan memastikan keberadaan ular tersebut, akhirnya mbah KH. Abdurrahman dawuh : “Kowe kabeh ora bakal diganggu” (kamu semua tidak akan diganggu), kemudian mbah KH. Abdurrahman dan mbah Kyai Muntaha mengawali mengambil dan menurunkan sirap tersebut agar orang-orang tidak takut lagi.

Proses pemindahan ini tidak dilakukan dengan cara dipikul , tetapi dilakukan dengan cara tunda rambat , karena saking banyaknya orang yang membantu dalam kegiatan tersebut. Setelah pembongkaran cungkup selesai, lalu dilanjutkan dengan pembongkaran makam. Atas izin dan kuasa ALLAH, jazad mbah Sabil & mbah Hasyim tidak menunjukkan kerusakan sama sekali alias masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dalam tanah. Sehari setelah proses pemindahan selesai, turunlah hujan yang sangat lebat, begitu reda terlihat oleh beberapa orang tracak harimau disekitar makam. Konon harimau tersebut milik mbah Sabil, demikian penjelasan dari mbah Kyai Muntaha.

19 tahun setelah pemindahan makam, tepatnya tanggal 26 Safar 1388 H, sirap dan talang cungkup diganti oleh mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan. Kemudian pada tanggal 1 Muharram 1420 H/1 April 1999 M bangunan makam direhab total atas biaya swadaya masyarakat yang peduli, dipimpin oleh KH. Khanifuddin. Pelaksanaan pembangunan memakan waktu sampai 6 bulan dan memakan biaya kurang lebih 40 juta rupiah.
Beberapa orang yang berjasa mengabdikan diri sebagai juru-kunci makam antara lain:
1. Mbah Marto Mardan (modin Kuncen).
2. Mbah Mudji, Kuncen.
3. Mbah Mukti, kuncen.
4. Bapak Simoen Soewoto (purnawirawan AD), Kuncen
5. Bapak Mashudi, Rowobayan.
6. Bapak Sarqowi (veteran), Rowobayan–juru kunci dari tahun 1986 sampai 2006 M.
7. Tahun 2006 - sekarang tidak ada Juru Kunci

Pemerintah telah memberikan kesejahteraan kepada para juru-kunci tersebut berupa sawah bengkok di Dukuh Rowobayan. Namun sayangnya-khabar terakhir- juru kunci sudah tidak menerima bengkok lagi mulai tahun 1990-an (masa Bapak Sarqowi). Bengkok tersebut raib entah kemana. Hilang tanpa bekas.

III. Haul/peringatan.

Sesuai anjuran kyai sepuh, (red. Pengertian usia lanjut) maka pada tanggal 6 Muharram 1407 H atau 10 September 1986 M atas prakarsa KH. Khanifuddin diadakan haul pertama kali di Makam Menak Anggrung. Haul diselenggarakan setiap malam Jum’at Pahing bulan As-Syura/Muharam setiap tahunnya. Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan Haul berarti peringatan genap 1 tahun. Peringatan ini berlaku bagi keluarga siapa saja. Gema haul akan terasa lebih dahsyat jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri sebuah pesantren. Memperingati hari wafat para wali dan para ulama termasuk amal yang tidak dilarang agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya mengandung sedikitnya 3 hal, diantaranya:
- Mengadakan bacaan al-Qur’an,
Tahlil dan Ziarah kubur. Orang yang pergi ke makam sama halnya dengan orang yang berkunjung ke rumah orang lain. Apa yang pantas dibawanya sebagai oleh-oleh? Tak lain ialah membawa pahala yang pantas disampaikan kepada penghuni kubur. Dia (penghuni kubur) tidak membutuhkan sesuatu selain pahala yang bisa kita persembahkan untuknya. Untuk mendapatkan pahala, sudah tentu kita harus membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca tahlil, dan beramal saleh, lalu pahalanya kita hadiahkan kepada penghuni kubur, Insya Allah akan sampai. Bagi orang-orang pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah, kalo ziarah kubur sudah pasti Tahlil menjadi oleh-oleh istimewa yang akan dipersembahkannya. Sebab, membaca tahlil pada hakekatnya membaca Al-Qur’an juga.

- Menerangkan riwayat hidup orang yang di-haul-li (manaqib)
Dalam hal ini dituturkan biografi mbah Sabil dan mbah Hasyim, dengan harapan menggugah semangat generasi yang masih hidup untuk meneladaninya. Menerangkan riwayat hidup orang alim/sholeh dengan niat agar bisa meniru/mengikuti tingkah laku orang tersebut termasuk kategori taat.
- Tempat arena shodaqoh, yang paling umum berupa makanan dan minuman. Mengadakan/membuat hidangan berupa makanan sekedarnya dengan niat shodaqoh.

Putra – Putri Mbah Sabil

Sampai saat ini belum diketemukan siapa istri mbah Sabil. Dari data tulisan tangan/prasasti mbah Kyai Ahmad Rowobayan, diketahui bahwa mbah Sabil mempunyai keturunan, 2 laki-laki dan 2 perempuan, diantaranya :
1) Kyai Saban
2) Nyai Samboe Lasem.
3) Moyo Kerti (Nyai Abdul Jabbar)
4) Kyai Abdurrokhim.

Dari anak pertama Kyai Saban, mbah Sabil menurunkan 4 cucu yaitu: Kyai Abdurrohman Klothok, Kyai Uju, Nyai Gedong, dan Kyai Wahid. Dari Kyai Uju inilah yang menurunkan mbah Kyai Ahmad Rowobayan, Kuncen, Padangan. Belakangan para cucu beliau menjadi tokoh penyebaran agama Islam di Desa Kuncen.

Sedangkan anak ke-dua yaitu Nyai Samboe Lasem. Tidak diketaui nama aslinya, yang jelas di panggil Samboe karena suaminya adalah: Kyai Samboe Lasem, Rembang atau yang disebut: Muhammad Syihabuddin dan lebih dikenal sebagai: Pangeran Syihabuddin Samboe Digda Diningrat. Makam mbah Sambu dan istrinya berada di sebelah utara makam Adipati Tejokusumo I. Makam mbah Sambu dan istrinya berada dalam cungkup yang berdenah bulat dan beratap kubah yang seluruhnya terbuat dari bata merah berlepa.

Di makam Mbah Sambu Lasem, Rembang, Jawa tengah, terdapat prasasti marmer ukuran kecil dalam bahasa arab yang menyebutkan bahwa nama Mbah Sambu yang sebenarnya adalah Sayyid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Menantu mbah Sabil ini keturunan Sultan Hadiwijaya yang biasa dikenal dengan sebutan populernya “JAKA TINGKIR”. Seorang pemuda dari Tingkir, suatu desa yang terletak di tenggara Salatiga pada tahun 1568 M, putra dari Adipati Pengging Pangeran Handayaningrat/R. Kusen, sedangkan R. Kusen sendiri putra dari Harya Damar Adipati Palembang. Adipati Palembang ini putra Prabu Brawijaya Majapahit. Jaka Tingkir menjadi raja Pajang yang pertama dan terakhir dengan gelar Sultan Hadi Wijaya dan sukses meng-Islamkan daerah Pasuruan dan sekitarnya.

Karena kealimannya, beliau dinikahkan dengan putri Pangeran Trenggana, raja ke III di kerajaan Islam Demak. Maka lahirlah Pangeran Benawa yang selama hidupnya menjadi guru thoriqot dan menyepi di daerah Kudus, pernah sebentar menjadi Adipati Jipang-Panolan Cepu.

KH. Akhmad Shidiq merupakan salah satu dari keturunan Kyai Samboe Lasem, atau cucu langsung dari mbah Sabil, yang memimpin Pondok Pesantren “AS-SYIDDIQIYAH” Jember. Beliau pernah menjadi anggota DPR-RI disamping lama di jajaran Rois-Am PBNU Kramat Raya Jakarta.

Dari anak ke-tiga Moyo Kerti, yang diperisteri mbah Abdul Jabbar yang makamnya ada di Nglirip nJojogan Tuban, mbah Sabil menurunkan mbah Iskak Rengel yang haulnya diadakan setiap Jum’at setelah tanggal 20 dibulan As-Syura/Muharam. Mbah Iskak Rengel menurunkan mbah Sholeh Tsani, pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik. Ditengah pondok inilah setiap tahunnya diselenggarakan haul terbesar di Jawa Timur pada bulan Robiul Awal setelah tanggal 20 guna memperingati meninggalnya mbah Sholeh Tsani.

Putra ke-empat Mbah Sabil yaitu Kyai Abdurrakhim Kaliwuluh Sambeng, yang diambil menantu putra wayah R. Rakhmad/Sunan Ampel Gading Surabaya.

Nasab dan Silsilah Mbah Sabil

Mbah Sabil berasal dari Mataram Jogya, tapi tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum mbah mbah Kyai Abdurrahman (salah satu dari mursyid Thoriqot Naqsabandiyah Rowobayan) mbah Sabil yang mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma tersebut adalah anak laki-laki dari Benawa. Benawa mempunyai saudara laki-laki bernama: Sumahadi Negoro atau Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai Mutamakkin Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya selalu diadakan setiap 10 Muharam di Pati.

Ahmad Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan Solo - antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab) yang menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton.

Serat itu mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori “Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah pengadilan atas Kyai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa Ruci

Ayah mbah Sabil (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi bagi telinga-telinga orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng Ngabdul Rakhman yang berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang asyik bekerja di sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang sedang giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di ikat pada sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang masih menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.