Wednesday, June 11, 2008

Masjid dan Makam Mbah Sabil



I. Masjid Mbah Sabil
Masjid dan Pesantren mbah Sabil terletak di desa Kuncen bagian utara, dari tugu pahlawan ke arah timur laut, atau dari Masjid Taqwa ke utara, hanya saja sampai hari ini tanpa bekas, sebab terkikis aliran Bengawan Solo (longsor).

Setelah tutup usia, mbah Sabil dimakamkan disebelah masjid. Urusan Pondok Pesantren kini menjadi tanggung jawab mbah Hasyim. Tidak lama setelah itu mbah Hasyim pun menyusul mbah Sabil menghadap sang Kholiq, dan dimakamkan disamping makam mbah Sabil. Kurang jelas kapan beliau meninggal. Masjid dan pondok sepi karena ditinggal beliau, dan lama-kelamaan kosong melompong, mengenaskan.....

Ada cerita menarik seputar masjid sepeninggal mbah Sabil. Diwaktu Dhuhur, salah satu cucu mbah Sabil yaitu mbah Kyai Abdurrohman Klothok suatu saat tilik masjid peninggalan kakeknya. Alangkah terkejutnya beliau, masjid yang semula ramai, sekarang sepi dan sangat kelihatan sekali bahwa masjid tersebut tidak pernah dipergunakan, kotor, berdebu bahkan penuh dengan kotoran ayam. Kesucian masjid pun ternoda. Rupanya penduduk Kuncen sekitar masjid sudah tidak memperdulikan keberadaan masjid yang bersejarah tersebut.

Hal ini membuat kesal mbah kyai Abdurrohman: “Wooalah ..... Wong Kuncen kene iki bento, duwe masjid kok ora dienggo” (Orang Kuncen sini gila, punya masjid tidak dimanfaatkan). Menurut penuturan para kyai sepuh, sejak kejadian itu, kawasan tersebut (yakni sebelah utara jalan raya Surabaya, yang masuk dalam wilayah Pemerintahan Desa Kuncen) selalu ada orang yang sakit ingatan/gila, atau terganggu jiwanya, meninggal satu akan timbul lagi demikian dan seterusnya.
Karena masjid tersebut dianggap mubadzir oleh mbah Kyai Abdurrohman, masjid tersebut kemudian diboyong ke Dukuh Klothok, Desa Banjarjo, masih dalam wilayah Kecamatan Padangan. Bahkan oleh sebagian masyarakat sekitar, masjid tersebut dipercaya sebagai masjid tiban. Masjid berarsitektur Jawa itu tak begitu besar. Luasnya kira-kira 20 X 20 meter. Entah sudah berapa kali masjid itu dipugar. Dari data yang diketahui, masjid tersebut dipugar pada Oktober 1989 dan 9 Agustus 1993 M.

Perlu diketahui, bedug masjid tersebut dibuat mbah Sabil dari kayu Jeblungan, kenthongannya terbuat dari kayu otok. Disebelah barat masjid terdapat komplek kuburan. Luasnya hampir dua kali area masjid. Di tempat inilah mbah Kyai Abdurrahman disemayamkan. Makamnya berada di dalam sebuah bangunan kecil di tengah makam umum. Sebagai penghormatan kepada sang wali, setiap peziarah atau pengunjung masjid diwajibkan turun dari motor bila sudah mendekati cungkup makam mbah Kyai Abdurrahman.
Pernah suatu ketika bedug Masjid Klothok tersebut diminta oleh Bupati Bojonegoro yaitu Raden Adipati Rekso Kusumo periode 1890-1916 M dan rencana pengiriman lewat Bengawan Solo ke Bojonegoro, namun apa yang terjadi ? perahu pembawa bedug itu hanya berputar-putar saja sampai berhari-hari ditempat itu juga, akhirnya diambil keputusan: bedug tidak boleh dipindahkan kemana-mana.


Gambar Makam Mbah Abdurrahman Klothok


II. Makam Mbah Sabil


Gambar makam Mbah Sabil

Makam mbah Sabil & mbah Hasyim yang saat ini berada disebelah barat Langgar Pahlawan, telah mengalami “perpindahan” 3 kali sejak beliau dimakamkan pertama kali disebelah masjidnya. Makam/kuburan ke dua tokoh Islam ini dinamakan “Sarean Menak Anggrung” sebab tempatnya yang anggrung-anggrung menjulang tinggi ditepi jurang Bengawan Solo. Barangkali berangkat dari peristiwa inilah mbah Sabil dan mbah Hasyim dikenal sebagai Mbah Menak Anggrung. Seiring dengan waktu, ternyata posisi makam membahayakan akibat dimakan jurang alias jungkur (longsor) meskipun sudah di-cungkup . Akhirnya dipindahkan beberapa meter kearah selatan. Kapan ? dan siapa yang memindahkan ? belum ditemukan data tentang itu.

Rupanya ditempat baru inipun kurang beruntung, tanah disekitar mengalami penurunan, dan habis sedikit demi sedikit sebab terkikis oleh derasnya air sungai terutama waktu musim penghujan. Dan akhirnya dipindah lagi untuk yang kedua kalinya yang dipimpin langsung mbah Kyai Ahmad Rowobayan. Namun tempat yang baru inipun rupanya juga mengalami pengikisan, dan longsor lagi.

Setelah bermusyawarah, para pemuka agama dan tokoh masyarakat, yang dipimpin oleh panjenenganipun mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan, maka diputuskan dipindah lagi untuk yang ketiga kalinya tepat di jantung desa yaitu Alun-alun Conthong - tempat yang sekarang ini ditempati sebagai makam, dulu sering disebut Alun-alun Conthong - pada Jum’at Kliwon, 13 Robiul Awal 1369 H atau 3 Maret 1950 M, dipandegani langsung oleh mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan dan mbah Kyai Muntaha dari Alas-tuwo Banjarjo.
Ada sedikit cerita seputar pemindahan terakhir ini, mbah Modin Marto Mardan yang saat itu menjadi juru kunci, bermimpi berturut-turut selama 3 hari. Dalam mimpinya mbah Marto diminta mbah Sabil untuk memindahkan makam beliau. Dan prosesi pemindahan itu berlangsung seperti tersebut diatas.

Belakangan di Alun-alun Conthong, tepatnya sebelah timur makam, didirikan sebuah langgar pada tahun 1952 M, Langgar tersebut dinamakan langgar Pahlawan , sebab sebagian dari halaman depan langgar ada beberapa makam pejuang kusuma bangsa yang kira-kira antara tahun 1960 - 1962 M makam tersebut dipindah dan dijadikan satu di Taman Makam Pahlawan Bojonegoro. Untuk memperingati para pahlawan tersebut, pada tahun tersebut Pemerintah RI mendirikan sebuah tugu yang saat ini disebut Tugu Pahlawan. Kemudian tugu tersebut dipugar pada tahun 1959 dan 1981 M bersamaan dengan lewatnya api PON (Pekan Olah Raga Nasional) ke X di daerah Padangan. Sedangkan pada tahun 2007 Langgar Pahlawan diganti namanya menjadi Langgar Menak Anggrung karena komplek makam dan langgar menjadi satu.


Gambar Langgar Menak Anggrung

Kembali ke pemindahan sarean mbah Sabil yang ke 3 kalinya, waktu pembongkaran cungkup, warga tidak ada yang berani membongkar sirap walaupun telah diperintah oleh mbah Kyai Abdurrahman. Hal ini karena ada seekor ular besar melilit disalah satu blandar cungkup. Lalu mbah Kyai Abdurrahman & mbah Kyai Muntaha mendatangi cungkup untuk melihat dan memastikan keberadaan ular tersebut, akhirnya mbah KH. Abdurrahman dawuh : “Kowe kabeh ora bakal diganggu” (kamu semua tidak akan diganggu), kemudian mbah KH. Abdurrahman dan mbah Kyai Muntaha mengawali mengambil dan menurunkan sirap tersebut agar orang-orang tidak takut lagi.

Proses pemindahan ini tidak dilakukan dengan cara dipikul , tetapi dilakukan dengan cara tunda rambat , karena saking banyaknya orang yang membantu dalam kegiatan tersebut. Setelah pembongkaran cungkup selesai, lalu dilanjutkan dengan pembongkaran makam. Atas izin dan kuasa ALLAH, jazad mbah Sabil & mbah Hasyim tidak menunjukkan kerusakan sama sekali alias masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dalam tanah. Sehari setelah proses pemindahan selesai, turunlah hujan yang sangat lebat, begitu reda terlihat oleh beberapa orang tracak harimau disekitar makam. Konon harimau tersebut milik mbah Sabil, demikian penjelasan dari mbah Kyai Muntaha.

19 tahun setelah pemindahan makam, tepatnya tanggal 26 Safar 1388 H, sirap dan talang cungkup diganti oleh mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan. Kemudian pada tanggal 1 Muharram 1420 H/1 April 1999 M bangunan makam direhab total atas biaya swadaya masyarakat yang peduli, dipimpin oleh KH. Khanifuddin. Pelaksanaan pembangunan memakan waktu sampai 6 bulan dan memakan biaya kurang lebih 40 juta rupiah.
Beberapa orang yang berjasa mengabdikan diri sebagai juru-kunci makam antara lain:
1. Mbah Marto Mardan (modin Kuncen).
2. Mbah Mudji, Kuncen.
3. Mbah Mukti, kuncen.
4. Bapak Simoen Soewoto (purnawirawan AD), Kuncen
5. Bapak Mashudi, Rowobayan.
6. Bapak Sarqowi (veteran), Rowobayan–juru kunci dari tahun 1986 sampai 2006 M.
7. Tahun 2006 - sekarang tidak ada Juru Kunci

Pemerintah telah memberikan kesejahteraan kepada para juru-kunci tersebut berupa sawah bengkok di Dukuh Rowobayan. Namun sayangnya-khabar terakhir- juru kunci sudah tidak menerima bengkok lagi mulai tahun 1990-an (masa Bapak Sarqowi). Bengkok tersebut raib entah kemana. Hilang tanpa bekas.

III. Haul/peringatan.

Sesuai anjuran kyai sepuh, (red. Pengertian usia lanjut) maka pada tanggal 6 Muharram 1407 H atau 10 September 1986 M atas prakarsa KH. Khanifuddin diadakan haul pertama kali di Makam Menak Anggrung. Haul diselenggarakan setiap malam Jum’at Pahing bulan As-Syura/Muharam setiap tahunnya. Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan Haul berarti peringatan genap 1 tahun. Peringatan ini berlaku bagi keluarga siapa saja. Gema haul akan terasa lebih dahsyat jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri sebuah pesantren. Memperingati hari wafat para wali dan para ulama termasuk amal yang tidak dilarang agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya mengandung sedikitnya 3 hal, diantaranya:
- Mengadakan bacaan al-Qur’an,
Tahlil dan Ziarah kubur. Orang yang pergi ke makam sama halnya dengan orang yang berkunjung ke rumah orang lain. Apa yang pantas dibawanya sebagai oleh-oleh? Tak lain ialah membawa pahala yang pantas disampaikan kepada penghuni kubur. Dia (penghuni kubur) tidak membutuhkan sesuatu selain pahala yang bisa kita persembahkan untuknya. Untuk mendapatkan pahala, sudah tentu kita harus membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca tahlil, dan beramal saleh, lalu pahalanya kita hadiahkan kepada penghuni kubur, Insya Allah akan sampai. Bagi orang-orang pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah, kalo ziarah kubur sudah pasti Tahlil menjadi oleh-oleh istimewa yang akan dipersembahkannya. Sebab, membaca tahlil pada hakekatnya membaca Al-Qur’an juga.

- Menerangkan riwayat hidup orang yang di-haul-li (manaqib)
Dalam hal ini dituturkan biografi mbah Sabil dan mbah Hasyim, dengan harapan menggugah semangat generasi yang masih hidup untuk meneladaninya. Menerangkan riwayat hidup orang alim/sholeh dengan niat agar bisa meniru/mengikuti tingkah laku orang tersebut termasuk kategori taat.
- Tempat arena shodaqoh, yang paling umum berupa makanan dan minuman. Mengadakan/membuat hidangan berupa makanan sekedarnya dengan niat shodaqoh.

Putra – Putri Mbah Sabil

Sampai saat ini belum diketemukan siapa istri mbah Sabil. Dari data tulisan tangan/prasasti mbah Kyai Ahmad Rowobayan, diketahui bahwa mbah Sabil mempunyai keturunan, 2 laki-laki dan 2 perempuan, diantaranya :
1) Kyai Saban
2) Nyai Samboe Lasem.
3) Moyo Kerti (Nyai Abdul Jabbar)
4) Kyai Abdurrokhim.

Dari anak pertama Kyai Saban, mbah Sabil menurunkan 4 cucu yaitu: Kyai Abdurrohman Klothok, Kyai Uju, Nyai Gedong, dan Kyai Wahid. Dari Kyai Uju inilah yang menurunkan mbah Kyai Ahmad Rowobayan, Kuncen, Padangan. Belakangan para cucu beliau menjadi tokoh penyebaran agama Islam di Desa Kuncen.

Sedangkan anak ke-dua yaitu Nyai Samboe Lasem. Tidak diketaui nama aslinya, yang jelas di panggil Samboe karena suaminya adalah: Kyai Samboe Lasem, Rembang atau yang disebut: Muhammad Syihabuddin dan lebih dikenal sebagai: Pangeran Syihabuddin Samboe Digda Diningrat. Makam mbah Sambu dan istrinya berada di sebelah utara makam Adipati Tejokusumo I. Makam mbah Sambu dan istrinya berada dalam cungkup yang berdenah bulat dan beratap kubah yang seluruhnya terbuat dari bata merah berlepa.

Di makam Mbah Sambu Lasem, Rembang, Jawa tengah, terdapat prasasti marmer ukuran kecil dalam bahasa arab yang menyebutkan bahwa nama Mbah Sambu yang sebenarnya adalah Sayyid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Menantu mbah Sabil ini keturunan Sultan Hadiwijaya yang biasa dikenal dengan sebutan populernya “JAKA TINGKIR”. Seorang pemuda dari Tingkir, suatu desa yang terletak di tenggara Salatiga pada tahun 1568 M, putra dari Adipati Pengging Pangeran Handayaningrat/R. Kusen, sedangkan R. Kusen sendiri putra dari Harya Damar Adipati Palembang. Adipati Palembang ini putra Prabu Brawijaya Majapahit. Jaka Tingkir menjadi raja Pajang yang pertama dan terakhir dengan gelar Sultan Hadi Wijaya dan sukses meng-Islamkan daerah Pasuruan dan sekitarnya.

Karena kealimannya, beliau dinikahkan dengan putri Pangeran Trenggana, raja ke III di kerajaan Islam Demak. Maka lahirlah Pangeran Benawa yang selama hidupnya menjadi guru thoriqot dan menyepi di daerah Kudus, pernah sebentar menjadi Adipati Jipang-Panolan Cepu.

KH. Akhmad Shidiq merupakan salah satu dari keturunan Kyai Samboe Lasem, atau cucu langsung dari mbah Sabil, yang memimpin Pondok Pesantren “AS-SYIDDIQIYAH” Jember. Beliau pernah menjadi anggota DPR-RI disamping lama di jajaran Rois-Am PBNU Kramat Raya Jakarta.

Dari anak ke-tiga Moyo Kerti, yang diperisteri mbah Abdul Jabbar yang makamnya ada di Nglirip nJojogan Tuban, mbah Sabil menurunkan mbah Iskak Rengel yang haulnya diadakan setiap Jum’at setelah tanggal 20 dibulan As-Syura/Muharam. Mbah Iskak Rengel menurunkan mbah Sholeh Tsani, pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik. Ditengah pondok inilah setiap tahunnya diselenggarakan haul terbesar di Jawa Timur pada bulan Robiul Awal setelah tanggal 20 guna memperingati meninggalnya mbah Sholeh Tsani.

Putra ke-empat Mbah Sabil yaitu Kyai Abdurrakhim Kaliwuluh Sambeng, yang diambil menantu putra wayah R. Rakhmad/Sunan Ampel Gading Surabaya.

Nasab dan Silsilah Mbah Sabil

Mbah Sabil berasal dari Mataram Jogya, tapi tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum mbah mbah Kyai Abdurrahman (salah satu dari mursyid Thoriqot Naqsabandiyah Rowobayan) mbah Sabil yang mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma tersebut adalah anak laki-laki dari Benawa. Benawa mempunyai saudara laki-laki bernama: Sumahadi Negoro atau Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai Mutamakkin Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya selalu diadakan setiap 10 Muharam di Pati.

Ahmad Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan Solo - antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab) yang menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton.

Serat itu mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori “Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah pengadilan atas Kyai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa Ruci

Ayah mbah Sabil (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi bagi telinga-telinga orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng Ngabdul Rakhman yang berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang asyik bekerja di sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang sedang giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di ikat pada sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang masih menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

Friday, March 7, 2008

Babad Tanah Rowobayan


Gambar Masjid Rowobayan

Dukuh Rowobayan terletak sebelah barat dukuh Slumbung, dinamakan Rowobayan karena dahulu berwujud rowo/rawa (dataran rendah yang selalu terisi air) penuh dengan sarang nyamuk, binatang melata seperti ular, biawak, dan sejenis lainnya yang cukup berbahaya terutama lintah , disamping angker. Rawa tersebut diistilahkan Jalma mara jalma mati / sapa mara mesti mati (siapa datang pasti mati). Dan mbah Kyai Ahmad Rowobayan, salah satu dari keturunan mbah Sabil cancut tali-wanda, dengan mengucapkan Bismillahirroh maanirrokhim beliau membuka tanah rawa tersebut. Ini dilakukan pada usia yang sudah cukup senja yaitu 54 tahun. Sebagian besar dibuat sawah dan lainnya untuk perumahan dan pesantren, yang akhirnya berkembang menjadi Pondok Pesantren Terekat Naqsyabandiyah yang cukup terkenal, dan beliau sendiri sebagai mursyidnya.

Asal mula mbah Kyai Ahmad membuka tanah Rowobayan ada cerita tersendiri mengenai hal ini. Pada tahun 1880 Kanjeng RM. Tumenggung Tirta Nata (Bupati Bojonegoro periode 1878-1888) bersilaturahmi ke tempat mbah Kyai Ahmad, yang waktu itu masih di tempat lama yaitu di Kuncen bagian utara dekat dengan tepi Bengawan Solo. Ndoro Kanjeng dawuh : “Daripada rumah Kyai dimakan jurang/longsor, bilamana Kyai berani dan bersedia menempati tanah rawa di selatan desa ini, saya hadiahkan kepada Kyai selamanya”. Akhirnya tawaran tersebut diterima oleh mbah Kyai Ahmad.

Mbah Kyai Ahmad dilahirkan di Kuncen Padangan pada Kamis Kliwon tanggal 5 Robiul Awal 1247 H/1831 M, seperti yang diterangkan dalam catatan harian beliau yang ditulis dengan huruf arab pego berbahasa campuran Arab dan Jawa, menyebutkan bahwa KH. Ahmad lahir pada tahun 1247 H. “Hijratun Nabi Sallallahu ‘alaihi Wasallam sanah bak, 1247, Syahru ar-Rabi’al Awwal, tanggal kaping gangsal dinten Khamis Kaliwon, dhahiripun Khajji Ahmad ibn Munada, umur 47 ngagem tismak”, artinya “Tahun 1247 H, tahun Bak, bulan Rabiul Awal, tanggal 5, hari Kamis Kliwon, lahirlah Haji Ahmad bin Munada, ketika umur 47 memakai kaca mata”.

Pada buku edisi sosialisasi yang lalu disebutkan, tahun tersebut sama dengan tahun 1826 M, ternyata sesuai dengan penelitian Bapak Ali Mufrodi salah satu staff pengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, tahun tersebut bertepatan dengan tahun 1831, karena 1 Muharram 1247 jatuh pada tanggal 12 Juni 1831. Sedangkan beliau lahir pada bulan Rabiul Awal, sehingga lahirnya sekitar tanggal 15 Agustus 1831, dengan perhitungan bahwa dari 1 Muharram ke 5 Rabiul Awal adalah 30+29+5 hari = 64 hari. Atau bulan Juni (30 hari – 12 hari = 18 hari) ditambah Juli 31 hari dan Agustus 15 hari sama dengan 64 hari. Bulan Juni adalah 30 hari dan Juli ialah 31 hari, sedang 30 hari adalah bulan Muharram dan 29 hari adalah bulan Safar, atau sebaliknya, karena umur satu bulan Qomariyah (lunar system) kadangkala 29 atau 30 hari.

Menurut mbah Kyai Abdurrahman Rowobayan – salah satu guru/mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang sekali gus cucu mbah Kyai Ahmad - bahwa lahirnya mbah Kyai Ahmad bersamaan dengan berdirinya Masjid Padangan DARUL MUTTAQIN. Ayah mbah Kyai Ahmad bernama Kyai Munada yang berasal dari Dusun Pendaratan, Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen, tanah Bagelen. Kyai Munada adalah salah satu prajurit Pangeran diponegoro yang dikejar-kejar oleh Kompeni Belanda, yang melarikan diri hingga tiba ditanah Padangan. Hal ini terjadi sekitar tahun 1825 M. Kyai Munada datang ke Padangan bersama 2 orang temannya, yaitu :
• Jokoriyo ( Zakariya ).
• Nur Salim.

Selama di Padangan, Kyai Munada rupanya tidak hanya “mampir” untuk bersembunyi dari kejaran serdadu Belanda, tetapi beliau juga membina kehidupan rumah tangga, dan menikah dengan putri Kyai Nursadin ( ibunya mbah Kyai Ahmad ), salah satu putra wayah keturunan dari mbah Sabil. Hingga akhir hayatnya, Kyai Munada masih menetap di Kuncen-Padangan. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Rowobayan, tempatnya berada disebelah selatan makam mbah Jabbar.

Gambar Makam Mbah Kyai Munada di Pemakaman Rowobayan

Sedangkan teman Kyai Munada yaitu Jokoriyo (Zakariya) menikah dengan gadis asal Brangkal, Batokan, Kecamatan Kasiman. Yang pada akhirnya mempunyai putra bernama Fatawi (Mbah Kyai Fatawi Ngroto). Teman satunya yaitu Nur Salim mendapatkan jodoh dari Ngujung, Kecamatan Malo (Celangap ke utara-nyeberang Bengawan Solo). Hingga akhir hayatnya beliau masih menetap di Ngujung dan dimakamkan disana.

Salah satu riwayat menyebutkan bahwa pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satu pahlawan yaitu Pangeran Diponegoro memiliki pasukan yang bermarkas di Desa Ngasinan, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang panglima perang bernama Tanggono Puro dengan seorang penasehat bernama Kyai Kasan Wirodikromo. Kyai Kasan sendiri mempunyai nama asli Sayyid Abu Bakar Alaydrus. Pasukan tersebut berhasil melakukan tugasnya yaitu memutus jalur hubungan Belanda Jawa Tengah dan Jawa Timur dari daerah Lasem hingga Pacitan walaupun hanya dalam waktu 3 hari. Oleh Pangeran Diponegoro pasukan itu diberi gelar “MALANG NEGORO”. Walaupun hanya 3 hari, tapi momen tersebut menunjukkan eksistensi perjuangan rakyat Indonesia pada umumnya dan perjuangan Pangeran Diponegoro pada khususnya. Sedangkan Tanggono Puro dan Kyai Kasan dimakamkan di Desa Ngasinan, Kecamatan Padangan. Hingga saat ini masyarakat setempat menjuluki Tanggono Puro sebagai Mbah Malang Negoro.

Gambar Makam Kyai Kasan atau Sayyid Abu Bakar Alaydrus di Pemakaman Ngasinan


Gambar Makam Tanggono Puro yang berdekatan dengan makam Kyai Kasan

Ahmad kecil dibesarkan dalam sebuah keluarga yang bersahaja, kedua orang tuanya seperti kebanyakan rakyat terjajah, namun kedua orang tuanya berkeyakinan mampu mengantarkan putranya menjadi orang ahli dalam ilmu agama. Sebagai seorang ayah, tentunya Kyai Munada menginginkan anaknya menjadi seorang pemimpin, berilmu, punya wawasan, tangguh dan banyak integritas (jujur dan dapat dipercaya) baik kepada agama maupun bangsanya.

Ahmad kecil belajar mengaji pada orang tuanya, dan berkelana mencari ilmu agama Islam ke Pesantren Langitan, Widang, Kabupaten Tuban. Pada masa tersebut Langitan adalah salah satu pesantren yang terkenal dengan ilmu alat-nya (Bahasa Arab), sehingga dapat dimaklumi bahwa pemuda Ahmad juga mahir dalam ilmu ini. Banyaknya buku yang dipunyai Ahmad dalam bahasa Arab yang membuktikan akan hal itu. Setelah petualangan pemuda Ahmad dalam menuntut ilmu di Langitan dirasa cukup, ia melanjutkan nyantri di salah satu pesantren asuhan mbah Kyai Sholeh Darat Semarang.

Sedikit ulasan tentang Kyai Sholeh Darat. Nama aslinya adalah Muhammad Shalih bin Umara al-Shamarani yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim disana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut. Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu Fiqih, aqidah, tasawuf, akhlak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.

Ayahnya Kyai Umar merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa bagian utara, Semarang, disamping Kyai Syada’ dan Kyai Murtadha Semarang. Kyai Shalih darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820 M. Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa Kyai Shalih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 desember 1903 M. Ia disebut Kyai Shalih Darat karena Ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah tersebut masuk wilayah Semarang Barat

Mbah Kyai Ahmad juga termasuk alim dalam ilmu Tasawuf. Ilmu yang terakhir ini didapat dari mbah Kyai Sholeh Kasuman Pati, sedangkan mbah Kyai Sholeh Kasuman Pati dari Syech Utsman Fauzi bin Yusuf Jabal Qubais. Belakangan setelah naik haji, Kyai Ahmad berbai’at langsung kepada Syech Ustman Fauzi bin Yusuf Jabal Qubais. Setelah dianggap mumpuni , Kyai Sholeh Kasuman Pati memberikan izin kepada Kyai Ahmad sebagai mursyid Tarekat di Rowobayan.
Sebagai tanda menjadi mursyid, mbah Kyai Sholeh Kasuman Pati memberikan “hadiah” berupa dua buah kitab Tarekat, yaitu:
 Hablul Matin (Tampar sing kuat – tali yang kuat).
 Risalatul Ajibah (Lembaran sing nggawokna - lembaran yang mengagumkan).
Kedua kitab tersebut masih tersimpan rapi hingga kini. Setelah mendapat “perkenan” dari gurunya, akhirnya beliau mendirikan pesantren Tarekat Naqsyabandiyah di Rowobayan. Perkenan atau barokah, merupakan salah satu tata nilai yang hidup di pesantren, berkah dari guru berarti kedamaian bagi murid, dan nilai-nilai seperti itu terkadang berlaku secara simbolik. (Tentang Tarekat Naqsyabandiyah dibahas di bab lain)

Monday, March 3, 2008

Riwayat Menak Anggrung


I. Riwayat Singkat Mbah Sabil & Mbah Hasyim

Salah satu riwayatnya mbah Hasyim, yaitu sebelum mbah Sabil datang ke Kuncen, mbah Hasyim sudah menjadi kyai di daerah Kuncen yang saat itu daerah/desa yang ditempati mbah Hasyim belum mempunyai nama. Tidak ada data pasti yang menunjukan siapakah sebenarnya mbah Hasyim dengan langgar (surau) kecilnya...? darimanakah asal beliau...? yang jelas mbah Hasyim mendapat julukan Ketib Hasyim (para sesepuh mengartikan ketib sebagai katib:penulis, penyalin, sekretaris. atau khadam:pelayan) setelah kedatangan mbah Sabil, beliau dikenal juga sebagai merbot masjidnya mbah Sabil.

Mbah Sabil sendiri mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma. Beliau adalah orang rantau dari kerajaan Mataram Jogya. Pada sekitar + abad XVII, beliau dikejar-kejar oleh Belanda, kemudian menyelamatkan diri kearah timur hingga sampai di Dusun Jethak-Bojonegoro. Beberapa saat setelah kedatangannya di Jethak, namanya diganti Sabil karena kekhawatiran beliau diketahui oleh Belanda, toh pada akhirnya ketahuan juga oleh kaum penjajah. Kemudian dari Jethak melarikan diri lagi, menyelamatkan diri hingga tiba di Dusun Jumok. Tempat ini masuk wilayah kecamatan Ngraho bagian timur, kira-kira 15 km dari Kecamatan Padangan ke arah selatan


II. Permulaan Mbah Sabil Tiba di Desa Kuncen

Setelah beberapa saat tinggal di Jumok, mbah Sabil berencana untuk pergi ke Ampel Surabaya. Perlu diketahui bahwa mbah Sabil adalah alumni Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya, hanya tidak diketahui kapan beliau belajar disana. Dalam rencananya, kepergian mbah Sabil ke Ampel harus sudah sampai tujuan dalam waktu semalam. Setelah ditentukan harinya, beliau berangkat dari Dusun Jumok ke Ampel Gading Surabaya setelah sholat Isya’. Beliau berjalan ke-arah Ngraho lalu ke barat dan diteruskan ke utara hingga akhirnya berhenti di Bengawan Solo. Setelah tiba di bengawan, beliau milir/ngintir mengikuti aliran Sungai Solo dengan menaiki kranjang mata ero serta membawa peralatan memasak seperti kendil, enthong dan lain-lain, yang saat ini diketahui bahwa peralatan tersebut ditanam dipojok sisi timur bagian depan didalam makam.

Bersamaan dengan mbah Sabil ngintir, beliau tiba disalah satu tikungan Bengawan Solo, mbah Sabil dengongok/anguk-anguk . Ditempat mbah Sabil anguk–anguk inilah lama kelamaan tempat tersebut dikenal sebagai Desa Dengok. Mbah Sabil ngintir lagi ke timur, beliau mendengar suara burung Gemek ngoceh (berkicau), akhirnya tempat tersebut berubah menjadi Dukuh Dema’an. Perjalanan diteruskan ke timur dengan kranjang mata ero-nya, hingga mendengar burung jalak ngoceh dan menjadilah dukuh Jalakan. Dari Jalakan langsung ketimur dan terdengar ada ayam jago yang sedang berkokok. Hal ini menarik perhatian mbah Sabil, ternyata ayam jago tersebut berada disekitar kalangane (daerahnya) tempat sabung ayam, sehingga tempat tersebut dinamakan dukuh Kalangan.

Bersamaan beliau tiba di salah satu tempat, Fajar Shodiq sudah terlihat, akhirnya tempat tersebut dinamakan Pajaran asal dari kata Pajar (fajar). Fajar Sendiri dalam pengertianya ada dua dari keseluruhan hukum-hukum yang telah dijelaskan Rasulullah yaitu fajar kadzib dan fajar shodiq. Fajar kadzib adalah cahaya warna putih memanjang bersinar yang nampak dari atas ke bawah seperti ekor srigala dan sedikit-demi sedikit hilang. Fajar ini tidak menghalalkan sholat subuh, dan tidak mengharamkan makanan bagi orang yang sedang berpuasa. Sedangkan fajar shodiq adalah warna merah yang bersinar tersebar, yang melintang diangkasa diatas puncak bukit-bukit dan gunung-gunung, tersebar di jalan-jalan, gang-gang, rumah-rumah, dan inilah yang berhubungan dengan hukum-hukum puasa dan sholat .

Semakin lama akhirnya Pajaran disebut juga Padangan, karena sudah Padang (terang). Berhentikah mbah Sabil ?...tidak ! Akhirnya beliau terus ke timur, hingga bertemu dengan mbah Hasyim yang saat itu sedang mengambil air wudhu di tepi Sungai Solo. Saat itu Bengawan Solo masih kecil dan sempit tepat kiranya bila disebut Sungai.
Terlihat oleh mbah Hasyim dari arah barat, sesuatu bergerak menuju ke-arahnya. Mbah Hasyim penasaran melihat “sesuatu” tersebut. Setelah diperhatikan dengan cermat, ternyata ada seseorang yang sedang naik keranjang, dan lebih-lebih tambah penasarannya setelah diketahui keranjang tersebut ternyata kranjang mata-ero. Anggapan mbah Hasyim, jelas ini bukan sembarang orang dan ditunggulah orang tersebut. Setelah dekat mbah Sabil yang masih bersila diatas keranjang ajaib itu ditanya oleh mbah Hasyim: “Gerangan mau kemana ki sanak ?”. Lalu dijawab oleh mbah Sabil: “Kula bade kesah wonten Ampel Denta Surabaya” (saya mau pergi ke Ampel Surabaya). Kemudian mbah Hasyim menawarkan sudilah kiranya mbah Sabil mampir dulu barang sebentar dirumahnya, “Mangga kula aturi pinarak wonten griya, mangga, mangga...” katanya. Dan turunlah mbah Sabil dari keranjang tersebut untuk memenuhi permintaan mbah Hasyim. Kemudian mbah Hasyim membawakan keranjang mbah Sabil sambil berjalan beriringan menuju kerumahnya.

Sesampai di tujuan, mereka berdua melaksanakan sholat berjama’ah di Langgar mbah Hasyim. Usai sholat mbah Hasyim matur : “Sebenarnya saya berharap, ki sanak untuk tetap tinggal disini, karena saya membutuhkan bantuan ki sanak untuk menyiarkan agama Islam disini”. Singkat cerita, mbah Sabil manut mengikuti apa yang diinginkan mbah Hasyim - agar kepergiannya ke Ampel Gading dihentikan alias di KUNCI. Akhirnya tempat tersebut akibat dari pergeseran waktu dan kata menjadi Kuncen asal dari kata kunci. Maka peristiwa inilah asal mula Desa KUNCEN.

III. Mendirikan Pesantren.

Di Desa Kuncen, mbah Sabil dan mbah Hasyim menjadikan Langgar yang semula kecil, dibangun menjadi lebih besar dan dipergunakan untuk sholat jum’at merangkap pula sebagai sebuah Pesantren. Lokasinya berada di Kuncen sebelah utara, kira-kira ke arah timur-laut dari tugu pahlawan. Tidak jelas berapa jumlah santri, dan dari mana berasal, sangat mungkin dari dukuh-dukuh sekitar. Di mata para santri, mbah Sabil adalah pribadi mulia, beliau tidak membeda-bedakan santrinya, sikap lembut, sabar, ramah dan tegas adalah sikap padu dalam metodologi pendidikan & pengajaran yang diterapkan. Istiqomah dan bersahaja merupakan ciri utama kehidupan sehari-hari. Para santri merasa mendapatkan bimbingan setiap hari, siang dan malam. Ada beberapa santri kinasih mbah Sabil, diantaranya:
1) Mbah Kyai Abdurrohman Klothok. Beliau adalah cucu mbah Sabil sendiri, yang saat ini makamnya berada disebelah barat Masjid Klothok, Banjarjo, utara SPBU milik Nyonya Hj. Mu’ayanah Hakim Effendi Kuncen.
2) Mbah Kamaluddin, makamnya berada di Oro-oro Bogo (bagian dari bumi Kuncen paling selatan).
3) Mbah Mamuddin (Imamuddin).
4) Mbah Jaenuddin (Zaenuddin).
5) Mbah Moyumuddin (Muchyidin).

Ada sedikit cerita tentang salah satu santri kinasih mbah Sabil yaitu mbah Kamaluddin. Saat itu mbah Kamaluddin menjadi Lurah Pondok di Pesantren mbah Sabil. Kegemaran beliau mencari ikan, salah satunya dengan mbesang menggunakan wuwu . Tempat yang sering digunakan mbesang oleh mbah Kamaluddin berada di Kuncen bagian timur, yang akhirnya tempat tersebut menjadi Dukuh mBasangan.
Suatu ketika beliau mengambil wuwu besangannya, ternyata bukan ikan yang didapat melainkan krèthè (anak buaya). Oleh Mbah Kamaluddin krèthè tersebut dipelihara dan ditempatkan di blumbang dekat Pondok. Tidak hanya mbah Kamaluddin yang gemar memberi makan krèthè tersebut, tapi juga santri-santri yang lain. Makanan yang sering didapat krèthè tersebut adalah sisa-sisa makanan para santri terutama intip (bagian nasi yang keras dan gosong).

Hari berganti, minggu bergulir dan bulanpun berjalan demikian pula tahun meninggalkan kita, tidak terasa krèthè yang dulunya kecil berubah menjadi buaya yang besar dan menakutkan. Singkat kata, suatu hari mbah Kamaluddin dipanggil oleh mbah Sabil : “Din....Kamaluddin....bajulmu saya suwe mundak gede lan medèni cah ngaji.” (Din....Kamaluddin....buayamu makin lama makin besar dan membuat takut para santri). Mbah Kamaluddin terdiam, tapi mengerti apa maksud kyainya. Karuan saja mendengar titah kyai yang sangat dihormati itu, beliau dan beberapa santri lainnya mempersiapkan diri untuk “membuang” buaya tersebut ke sungai Solo.
Akhirnya dengan berat hati mbah Kamaluddin memindahkan buaya dengan dibantu santri-santri yang lain, dengan cara di-bopong . Sebelum diceburkan ke sungai, buaya tersebut diberi nama oleh mbah Kamaluddin: “Destoroto”.

Alkisah menurut penuturan para sesepuh, antara lain: mbah Kyai Haji Abdurrahman Rowobayan, Mbah Rayis Kuncen, mbah Tasrip Slumbung, mbah Wardi Slumbung (Jagabaya) dan banyak lain, pernah melihat dengan peningalnya (matanya) sendiri, dikala banjir melanda Desa Kuncen, buaya tersebut nglabar/nuweni makam mbah Kamaluddin di Oro-oro Bogo. Terkadang buaya tersebut berada di sekitar makam, juga berkeliaran sekitar mBasangan dan Slumbung.

Slumbung adalah nama suatu dukuh yang terletak di sebelah barat dukuh mBasangan masih dalam kawasan Desa Kuncen, dinamakan Slumbung karena ada sawah sak kedok/satu pethak, apabila dipanen hasilnya se-lumbung atau satu lumbung . Dimana sebelum memanen padi harus dikorbankan terlebih dahulu satu ekor pedet (anak sapi) karena saking banyaknya lintah yang hidup di sawah.

Gambar Makam Mbah Kamaluddin di Oro-oro Bogo